Friday 26 September 2014

MAKALAH PENGAJARAN YANG BAIK DAN KOMPETENSI GURU



MAKALAH
PENGAJARAN YANG BAIK DAN KOMPETENSI GURU


Oleh:
Indah Nur Fauziah          (14030204052)
Aoda Rusdanillah           (14030204059)
Okta Prisma Dyanti       (14030204073)

Kelas:
Pendidikan Biologi Unggulan 2014


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


KATA PENGANTAR
                    Segala puji bagi Allah, Sang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, berkat Karunia Nya, penulis akhirnya mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Pengajaran yang Baik dan Kompetensi Guru”.
                        Dalam menyusun makalh ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami, namun berkat dukungan, dorongan, dan semangat dari berbagai pihak, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.   Ibu Prof. Dr. Endang Susantini, M.Pd, selaku dosen Psychological Development of Student yang telah memberi kesempatan untuk menulis makalah ini.
3.      Keluarga dan teman-teman yang telah memberi semangat dalam proses pembuatan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, segala kritikan dan masukan yang membangun akan penulis terima dengan baik.
            Semoga makalah “Pengajaran yang Baik dan Kompetensi Guru” ini bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, 25 September 2014

Tim Penulis
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Tidak ada rumus dalam pengajaran yang baik, pengajaran yang baik hanya  melibatkan perencanaan dan persiapan, serta kemudian puluhan keputusan setiap jam. Guru merupakan pemikir yang kritis dan mempunyai kemungkinan untuk masuk ke ruang kelasnya dengan pengetahuan untuk mengelola kemampuan siswanya. Pengetahuan tentang pokok mata pelajaran tidak akan efektif jika tidak dilengkapi dengan metode pengajaran yang baik.
Pengajaran yang baik adalah pengajaran yang efektif, pengajaran yang efektif bukanlah masalah sederhana berupa orang yang mempunyai pengetahuan lebih banyak, memindahkan pengetahuan itu terhadap orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran merupakan suatu keharusan untuk menggali jati diri sebagai guru yang baik.
Dasar pendidikan adalah kasih sayang, cinta kasih yang tulus, jika guru sudah kehilangan kasih sayang terhadap siswa, maka saat itulah ia kehilangan jati dirinya (Dedi Supriadi 1998).
Pengajaran efektif membuktikan bahwa seorang guru mempunyai kompetensi. Guru berkompetensi adalah guru yang mempunyai kinerja rasional dan dapat mencapai tujuan-tujuan secara memuaskan atas dasar yang diharapkan : intensionalitas.
1
Guru yang intensional tahu bahwa pembelajaran maksumal tidak terjadi secara kebetulan. Untuk benar-benar menantang siswa, untuk memperoleh upaya terbaik mereka, untuk membantu mereka melakukan lompatan konseptual dan mengorganisasikan pengetahuan baru, guru perlu mempunyai maksdu, berfikir secara mendalam, dan fleksibel, tanpa pernah melupakan sasaran mereka bagi setiap siswa. Dengan kata lain, guru perlu menetapkan tujuan, menjadi intensional.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana metode pengajaran yang baik untuk menjadi guru berkompeten?
1.3  Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1.      Mengetahui metode pengajaran yang baik untuk menjadi guru berkompeten.


BAB II
PEMBAHASAN
1.1    Metode Pengajaran untuk Menjadi Guru yang Berkompeten
Guru yang baik mempunyai pengetahuan tentang mata pelajaran dan sumber daya pengajaran, pemikiran kritis dan kemampuan pemecahan masalah, pengetahuan tentang siswa dan pembelajaran mereka, dan kemampuan pengajaran serta komunikasi.
            Hal yang membuat seseorang menjadi guru yang baik adalah ketika seorang guru memiliki kemampuan mengerjakan semua tugas yang terdapat dalam pengajaran yang efektif (Burden & Byrd, 2003; Kennedy, 2006). Kehangatan, antusiasme, dan kepedulian sangat berperan penting (Cornelius-White, 2007; Eisner 2006). Tetapi keberhasilan penyelesaian semua tugas mengajar itulah yang menghasilkan keefektifan pengajaran (Shulman, 2000).
            Sebagai dasar menjadi guru yang baik dan berkompeten, seorang guru harus mempunyai pengajaran yang baik, meliputi :
1.      Pengambilan keputusan.
2.      Pengetahuan diri dan pengaturan diri.
3.      Penerapan riset pendidikan.
4.      Refleksi.
                        Pengambilan keputusan merupakan poin penting dalam mengajar. Mempertimbangkan berbagai pilihan merupakan suatu hal yang biasa dihadapi guru dalam kelas. Guru harus mampu menghadapi sejumlah keputusan yang sulit dan kadang-kadang tidak terduga setiap hari dan harus mampu menanggapinya dengan cepat dan tepat.
3
                        Kita ambil contoh, apabila ada siswa yang berperilaku tidak pantas ketika kelas tengah berlangsung, seorang guru akan mendapati banyak pilihan keputusan, mulai dari menegur, mengabaikan, atau mungkin penggunaan hukuman dari yang ringan seperti omelan atau yang berat seperti menyuruh siswa tersebut meninggalkan kelas.
            Tindakan-tindakan tersebut merupakan tanggapan umum terhadap perilaku yang tidak pantas. Tetapi sebagai seorang guru yang intensional, guru harus mampu mengidentifikasi, apakah hal yang menyebabkan siswa tersebut berperilaku tidak pantas? Persoalan yang seringkali terjadi adalah ketika siswa ingin memperoleh perhatian guru dan teman sekelasnya. Maka, hal yang sepatutnya dilakukan adalah mengingatkan siswa tersebut dan seluruh siswa lain di kelas bahwa hal tersebut tidak pantas dilakukan. Hal ini akan berdampak positif dengan terbentuknya standar perilaku diantara para siswa.
                        Pengetahuan diri dalam diri seorang guru meliputi penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, penguasaan karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Sedangkan pengaturan diri seorang guru adalah bagaimana ia harus mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalaman baik-buruk, salah-benar mengenai peserta didik.
Guru mengambil ratusan keputusan tiap hari dan tiap-tiap keputusan mempunyai satu teori di belakangnya, tidak peduli apakah guru tersebut menyadarinya atau tidak.
                        Penerapan riset pendidikan dapat mencakup bagaimana guru seharusnya bertindak, hal ini erat kaitannya dengan pengambilan keputusan. Seorang guru yang melakukan riset tentang peserta didik dapat dengan mudah menemukan pilihan dari banyak keputusan yang harus diambil dalam kelas. Maksud riset dalam pendidikan adalah menguji berbagai teori yang menuntun tindakan guru dan orang lain yang terlibat dalam proses pendidikan.
                        Hal yang juga tidak kalah penting dalam sebuah pengajaran yang baik adalah bagaimana guru terus berefleksi. Guru yang baik selalu memiliki kebiasaan refleksi (perenungan mendalam) yang dilandasi pengetahuan untuk menjadi guru yang ahli pada masa mendatang. Karena ia terbuka terhadap gagasan baru yang memandang pengajarannya secara kritis.

Refleksi memungkinkan seorang guru untuk terus-menerus bertanya kepada diri sendiri apa sasaran yang diupayakan untuk dicapai oleh dirinya dan siswanya. Apakah tiap-tiap bagian pelajaran mereka sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kemampuan, dan kebutuhan siswa? Apakah setiap menit pengajaran digunakan dengan bijaksana dan baik? Apa yang perlu saya ketahui tentang siswa agar menjadi guru intensional? Bagaimana caranya membantu siswa mencapai keberhasilan?
Refleksi profesional adalah mutlak untuk memperbaiki standar guru dan mendukung pengembangan karir. Kerangka ini adalah alat bagi guru untuk:
1. Merefleksikan efektivitas profesional mereka
2. Menentukan dan memprioritaskan area untuk peningkatan professional
3. Mengidentifikasi peluang belajar professional
4. Membantu pribadi dan perencanaan pengembangan karir.
 Guru yang melakukan refleksi lebih mampu merasakan bahwa upaya mereka sendiri menentukan keberhasilan siswanya karena pengajaran yang baik harus diamati dan dipraktikkan, tetapi ada prinsip pengajaran yang baik yang perlu diketahui oleh guru, yang selanjutnya dapat diterapkan di ruang kelas. Hal ini akan berdampak dengan penggunaan berbagai metode pengajaran, pengalaman, penugasan, dan bahan ajar untuk memastikan bahwa siswa mencapai semua jenis tujuan kognitif, mulai dari pengetahuan, penerapan hingga kreatifitas, dan bahwa pada saat yang sama, siswa mempelajari tujuan afektif yang penting, seperti kecintaan belajar, rasa hormat terhadap orang lain, dan tanggung jawab pribadi. Guru intensional terus-menerus merenungkan praktik dan hasil yang ia peroleh.
            Di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993, dijelaskan bahwa untuk menjadi intensional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2.    
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
3.      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
4.      Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
5.      Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
      Sedangkan menurut PERMENDIKNAS No. 12, 13, dan 16, guru yang baik setidak-tidaknya harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (SI) program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi dan memiliki semua kompetensi secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.


Tahap-Tahap Perkembangan Individual Menurut Erikson



            Erik Erikson mengusulkan sebuah teori perkembangan psikososial yang mendeskripsikan tugas-tugas yang diselesaikan pada tahap-tahap kehidupan yang berbeda. Seperti Piaget, Erikson melihat perkembangan sebagai lintasan yang melalui sejumlah tahap, masing-masing dengan tujuan, concerns, pencapaian, dan bahaya tertentu. Tahap-tahap itu bersifat saling tergantung. Pada setiap tahap, Erikson mengatakan bahwa individu-individu menghadapi sebuah krisis perkembangan—konflik antara sebuah alternatif positif dan sebuah alternatif yang secara potensial tidak sehat, ia menyebutnya sebagai “eight ages of man”.
2.1.1        Tahap Basic Trust vs Basic Mistrust, percaya versus tidak percaya(I)
Erikson mengidentifikasikan trust versus mistrust (kepercayaan versus ketidakpercayaaan) sebagai konflik dasar masa bayi. Menurut Erikson, bayi yang baru lahir hingga delapan belas bulan akan mengembangkan kepercayaan bila kebutuhan dan perwatan dipenuhi secara rutin dan membuatnya nyaman atas responsivitas dari pihak pengasuh.Kesadaran ini merupakan bagian dari apa yang membuat kepercayaan begitu penting: Bayi harus memercayai aspek-aspek dunia yang berada di luar kontrolnya (Isabella & Belsky, 1991; Posada et al., 2002).
2.1.2        Tahap Autonomy vs Shame and Doubt, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu(II)
            Tahap ini menandai awal pengendalian diri dan rasa percaya diri, dimulai dari umur delapan belas bulan hingga tiga tahun. Anak-anak kecil mulai memikul tanggung jawab penting untuk mengurus diri sendiri, seperti makan, menggunakan toilet, dan berpakaian. Selama periode ini, orang tua harus menarik sebuah garis tegas; mereka harus protektif—tetapi tidak overprotektif. Bila orang tua tidak negakkkan rasa kepercayaan diri anak, maka sang anak akan tumbuh dengan merasa malu. Erikson percaya bahwa anak-anak yang mengalami terlalu banyak keragu-raguan di tahap ini akan kurang yakin terhadap kemampuannya sepanjang hidup.

2.1.3        Tahap Initiative vs. Guilt, inisiatif versus perasaan bersalah (III)
Tahap berikutnya saat anak berumur tiga tahun hingga enam tahun. Bagi Erikson, tahap ini “menambahkan pada otonomi kualitas-kualitas seperti menjalankan, merencanakan, dan memecahkan tugas demi menjadi aktif dan terus bergerak (Erikson, 1963, hlm. 255). Tantangan pada tahap ini adalah mempertahankan semangat untuk aktif dan sekaligus memahami bahwa tidak setiap dorongan dapat diwujudkan. Insisiatif seorang anak harus terus diasah pada tahap ini, inisiatif merupakan kemauan untuk memulai aktivitas baru dan mengeksplorasi arah baru. Bila anak-anak tidak dibiarkan melakukan berbagai hal sendiri, perasaan bersalah mungkin berkembang; mereka mungkin akan percaya bahwa apa yang ingin mereka lakukan selalu “salah”.
2.1.4        Tahap Industry vs Inferiority, ketekunan versus perasaan rendah diri(IV)
            Antara umur lima tahun hingga tujuh tahun, ketika kebanyakn anak mulai masuk sekolah, perkembangan kognitif berjalan dengan cepat. Anak-anak memproses lebih banyak informasi dengan lebih cepat dan rentang ingatan mereka bertambah. Mereka pindah dari cara berpikir pra-operasional ke operasional-konkret. Mereka harus belajar memercayai orang dewasa baru, bertindak secara otonom (mandiri) dalam situasi yang lebih kompleks, dan menginisisai (memprakarsai) tindakan dengan cara yang sesuai dengan aturan sekolah.
            Tantangan psikososial baru untuk tahun-tahun sekolah inilah yang disebut Erikson sebagai ketekunan versus perasaan rendah diri. Anak mulai melihat hubungan antara ketekunan dan perasaan senang bila sebuah sebuah pekerjaan selesai. Kesulitan dalam menghadapi tantangan ini dapat menghasilkan perasaan rendah diri. Anak-anak harus menguasai berbagai keterampilan baru dan berusaha mencapai tujuan baru, dan pada saat yang sama mereka diperbandingkan dengan orang lain yang berisiko mengalami kegagalan.



2.1.5        Tahap Identify vs. confusion, identitas dan kebingungan(V)
            Ketika anak memasuki usia remaja, proses-prose kognitif meluas ketika mereka mengembangkan kapabilitas untuk berfikir abstrak dan kapasitas untuk memahami perspektif orang lain. Remaja muda harus menghadapi isu sentral, yaitu mngkonstruksikan identitas yang akan memberikan dasar kuat saat dewasa.
            Akan tetapi, masa remaja menandai saat pertama uapay sadar dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang sekarang menekannya; “Who am I” (aku ini siapa?), konflik mennetukan tahap ini adalah identitas dan kebingungan. Identitas mengacu pada pengoragnisasian berbagai dorongan, kemampuan, keyakinan dan riwayat individu menjadi sebuah gambaran diri yang konsisten. Bila remaja gagal mengintegrasikan semua hal, atau bila mereka merasa tidak mampu memilih sama sekali, maka kebingungan mengancam mereka.
            Menurut James Marcia (1991, 1994, 1999) ada empat alternatif identitas untuk remaja, tergantug apakah mereka sudah mengeksplorasi berbagai opsi dan telah membuat komitmen.
Pertama, difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak mengeksplorasi opsi apapun atau tidak berkomitmen terhadap tindakan apapun. Remaja-remaja ini sering ikut-ikutan, sehingga merekalebih berkemungkinan untuk menyalhgunakan obat-obatan (Archer & Waterman, 1990; Berger & Thompson, 1995; Kroger, 2000).
Kedua, penutupan identitas, adalah komitmen tanpa eksplorasi. Remaja-remaja yang identitasnya tertutup cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif (Frank, Pirsch, & Wright, 1990).
Ketiga, moratorium atau krisi identitas, menunda pilihan karena pertentangan. Menurut Erikson, penundaan ini sangat lazim dan barangkali sehat, bagi remaja modern. Remaja yang berada dalam masyarakat yang kompleks mengalami krisi identitas.
Keempat, pencapaian identitas, berarti bahwa setelah mengeksplorasi opsi-opsi yang realistis, individu memilih dan berkomitmen untuk mencapainya.
2.1.6        Tahap Intimacy vs Isolation, intimasi versus isolasi(VI)
Intimasi dalam pengertian ini mengacu pada kemauan untuk berhubungan dengan orang lain secara mendalam, untuk menjalin hubungan berdasarkan perasaan lebih dari sekadar saling membutuhkan. Bila ia belum mencapai perasaan identitas yang cukup kuat, ia akan “tertelan” dari orang lain dan memilih mengasingkan diri (isolasi).
2.1.7        Tahap Generativity vs stagnation,(VII)
Generativitas memperluas kemampuan untuk peduli pada orang lain dan melibatkan kepdulain untuk membimbing generasi berikutnya.
2.1.8         Tahap Integritas versus putus asa (VIII)
            Tahap inilah yang dibawa sampai mati. Mencapai integritas berarti mengonsolidasikan snese of self dan menerima sepenuh keunikannya dan sejarahnya tidak dapat diubah. Mereka yang tidak mampu mencapai perasaan integritas dan kepuasan akan tenggelam dalam keputusasaan.