Friday 26 September 2014

Tahap-Tahap Perkembangan Individual Menurut Erikson



            Erik Erikson mengusulkan sebuah teori perkembangan psikososial yang mendeskripsikan tugas-tugas yang diselesaikan pada tahap-tahap kehidupan yang berbeda. Seperti Piaget, Erikson melihat perkembangan sebagai lintasan yang melalui sejumlah tahap, masing-masing dengan tujuan, concerns, pencapaian, dan bahaya tertentu. Tahap-tahap itu bersifat saling tergantung. Pada setiap tahap, Erikson mengatakan bahwa individu-individu menghadapi sebuah krisis perkembangan—konflik antara sebuah alternatif positif dan sebuah alternatif yang secara potensial tidak sehat, ia menyebutnya sebagai “eight ages of man”.
2.1.1        Tahap Basic Trust vs Basic Mistrust, percaya versus tidak percaya(I)
Erikson mengidentifikasikan trust versus mistrust (kepercayaan versus ketidakpercayaaan) sebagai konflik dasar masa bayi. Menurut Erikson, bayi yang baru lahir hingga delapan belas bulan akan mengembangkan kepercayaan bila kebutuhan dan perwatan dipenuhi secara rutin dan membuatnya nyaman atas responsivitas dari pihak pengasuh.Kesadaran ini merupakan bagian dari apa yang membuat kepercayaan begitu penting: Bayi harus memercayai aspek-aspek dunia yang berada di luar kontrolnya (Isabella & Belsky, 1991; Posada et al., 2002).
2.1.2        Tahap Autonomy vs Shame and Doubt, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu(II)
            Tahap ini menandai awal pengendalian diri dan rasa percaya diri, dimulai dari umur delapan belas bulan hingga tiga tahun. Anak-anak kecil mulai memikul tanggung jawab penting untuk mengurus diri sendiri, seperti makan, menggunakan toilet, dan berpakaian. Selama periode ini, orang tua harus menarik sebuah garis tegas; mereka harus protektif—tetapi tidak overprotektif. Bila orang tua tidak negakkkan rasa kepercayaan diri anak, maka sang anak akan tumbuh dengan merasa malu. Erikson percaya bahwa anak-anak yang mengalami terlalu banyak keragu-raguan di tahap ini akan kurang yakin terhadap kemampuannya sepanjang hidup.

2.1.3        Tahap Initiative vs. Guilt, inisiatif versus perasaan bersalah (III)
Tahap berikutnya saat anak berumur tiga tahun hingga enam tahun. Bagi Erikson, tahap ini “menambahkan pada otonomi kualitas-kualitas seperti menjalankan, merencanakan, dan memecahkan tugas demi menjadi aktif dan terus bergerak (Erikson, 1963, hlm. 255). Tantangan pada tahap ini adalah mempertahankan semangat untuk aktif dan sekaligus memahami bahwa tidak setiap dorongan dapat diwujudkan. Insisiatif seorang anak harus terus diasah pada tahap ini, inisiatif merupakan kemauan untuk memulai aktivitas baru dan mengeksplorasi arah baru. Bila anak-anak tidak dibiarkan melakukan berbagai hal sendiri, perasaan bersalah mungkin berkembang; mereka mungkin akan percaya bahwa apa yang ingin mereka lakukan selalu “salah”.
2.1.4        Tahap Industry vs Inferiority, ketekunan versus perasaan rendah diri(IV)
            Antara umur lima tahun hingga tujuh tahun, ketika kebanyakn anak mulai masuk sekolah, perkembangan kognitif berjalan dengan cepat. Anak-anak memproses lebih banyak informasi dengan lebih cepat dan rentang ingatan mereka bertambah. Mereka pindah dari cara berpikir pra-operasional ke operasional-konkret. Mereka harus belajar memercayai orang dewasa baru, bertindak secara otonom (mandiri) dalam situasi yang lebih kompleks, dan menginisisai (memprakarsai) tindakan dengan cara yang sesuai dengan aturan sekolah.
            Tantangan psikososial baru untuk tahun-tahun sekolah inilah yang disebut Erikson sebagai ketekunan versus perasaan rendah diri. Anak mulai melihat hubungan antara ketekunan dan perasaan senang bila sebuah sebuah pekerjaan selesai. Kesulitan dalam menghadapi tantangan ini dapat menghasilkan perasaan rendah diri. Anak-anak harus menguasai berbagai keterampilan baru dan berusaha mencapai tujuan baru, dan pada saat yang sama mereka diperbandingkan dengan orang lain yang berisiko mengalami kegagalan.



2.1.5        Tahap Identify vs. confusion, identitas dan kebingungan(V)
            Ketika anak memasuki usia remaja, proses-prose kognitif meluas ketika mereka mengembangkan kapabilitas untuk berfikir abstrak dan kapasitas untuk memahami perspektif orang lain. Remaja muda harus menghadapi isu sentral, yaitu mngkonstruksikan identitas yang akan memberikan dasar kuat saat dewasa.
            Akan tetapi, masa remaja menandai saat pertama uapay sadar dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang sekarang menekannya; “Who am I” (aku ini siapa?), konflik mennetukan tahap ini adalah identitas dan kebingungan. Identitas mengacu pada pengoragnisasian berbagai dorongan, kemampuan, keyakinan dan riwayat individu menjadi sebuah gambaran diri yang konsisten. Bila remaja gagal mengintegrasikan semua hal, atau bila mereka merasa tidak mampu memilih sama sekali, maka kebingungan mengancam mereka.
            Menurut James Marcia (1991, 1994, 1999) ada empat alternatif identitas untuk remaja, tergantug apakah mereka sudah mengeksplorasi berbagai opsi dan telah membuat komitmen.
Pertama, difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak mengeksplorasi opsi apapun atau tidak berkomitmen terhadap tindakan apapun. Remaja-remaja ini sering ikut-ikutan, sehingga merekalebih berkemungkinan untuk menyalhgunakan obat-obatan (Archer & Waterman, 1990; Berger & Thompson, 1995; Kroger, 2000).
Kedua, penutupan identitas, adalah komitmen tanpa eksplorasi. Remaja-remaja yang identitasnya tertutup cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif (Frank, Pirsch, & Wright, 1990).
Ketiga, moratorium atau krisi identitas, menunda pilihan karena pertentangan. Menurut Erikson, penundaan ini sangat lazim dan barangkali sehat, bagi remaja modern. Remaja yang berada dalam masyarakat yang kompleks mengalami krisi identitas.
Keempat, pencapaian identitas, berarti bahwa setelah mengeksplorasi opsi-opsi yang realistis, individu memilih dan berkomitmen untuk mencapainya.
2.1.6        Tahap Intimacy vs Isolation, intimasi versus isolasi(VI)
Intimasi dalam pengertian ini mengacu pada kemauan untuk berhubungan dengan orang lain secara mendalam, untuk menjalin hubungan berdasarkan perasaan lebih dari sekadar saling membutuhkan. Bila ia belum mencapai perasaan identitas yang cukup kuat, ia akan “tertelan” dari orang lain dan memilih mengasingkan diri (isolasi).
2.1.7        Tahap Generativity vs stagnation,(VII)
Generativitas memperluas kemampuan untuk peduli pada orang lain dan melibatkan kepdulain untuk membimbing generasi berikutnya.
2.1.8         Tahap Integritas versus putus asa (VIII)
            Tahap inilah yang dibawa sampai mati. Mencapai integritas berarti mengonsolidasikan snese of self dan menerima sepenuh keunikannya dan sejarahnya tidak dapat diubah. Mereka yang tidak mampu mencapai perasaan integritas dan kepuasan akan tenggelam dalam keputusasaan.

No comments:

Post a Comment