Erik Erikson mengusulkan sebuah
teori perkembangan psikososial yang mendeskripsikan tugas-tugas yang
diselesaikan pada tahap-tahap kehidupan yang berbeda. Seperti Piaget, Erikson
melihat perkembangan sebagai lintasan yang melalui sejumlah tahap,
masing-masing dengan tujuan, concerns,
pencapaian, dan bahaya tertentu. Tahap-tahap itu bersifat saling tergantung.
Pada setiap tahap, Erikson mengatakan bahwa individu-individu menghadapi sebuah
krisis perkembangan—konflik antara sebuah alternatif positif dan sebuah
alternatif yang secara potensial tidak sehat, ia menyebutnya sebagai “eight ages of man”.
2.1.1
Tahap
Basic Trust vs Basic Mistrust, percaya
versus tidak percaya(I)
Erikson
mengidentifikasikan trust versus mistrust
(kepercayaan versus ketidakpercayaaan) sebagai konflik dasar masa bayi.
Menurut Erikson, bayi yang baru lahir hingga delapan belas bulan akan
mengembangkan kepercayaan bila kebutuhan dan perwatan dipenuhi secara rutin dan
membuatnya nyaman atas responsivitas dari pihak pengasuh.Kesadaran ini
merupakan bagian dari apa yang membuat kepercayaan begitu penting: Bayi harus
memercayai aspek-aspek dunia yang berada di luar kontrolnya (Isabella &
Belsky, 1991; Posada et al., 2002).
2.1.2
Tahap
Autonomy vs Shame and Doubt, otonomi
versus rasa malu dan ragu-ragu(II)
Tahap ini menandai awal pengendalian
diri dan rasa percaya diri, dimulai dari umur delapan belas bulan hingga tiga
tahun. Anak-anak kecil mulai memikul tanggung jawab penting untuk mengurus diri
sendiri, seperti makan, menggunakan toilet, dan berpakaian. Selama periode ini,
orang tua harus menarik sebuah garis tegas; mereka harus protektif—tetapi tidak
overprotektif. Bila orang tua tidak negakkkan rasa kepercayaan diri anak, maka
sang anak akan tumbuh dengan merasa malu. Erikson percaya bahwa anak-anak yang
mengalami terlalu banyak keragu-raguan di tahap ini akan kurang yakin terhadap
kemampuannya sepanjang hidup.
2.1.3
Tahap
Initiative vs. Guilt, inisiatif
versus perasaan bersalah (III)
Tahap
berikutnya saat anak berumur tiga tahun hingga enam tahun. Bagi Erikson, tahap
ini “menambahkan pada otonomi kualitas-kualitas seperti menjalankan,
merencanakan, dan memecahkan tugas demi menjadi aktif dan terus bergerak
(Erikson, 1963, hlm. 255). Tantangan pada tahap ini adalah mempertahankan
semangat untuk aktif dan sekaligus memahami bahwa tidak setiap dorongan dapat
diwujudkan. Insisiatif seorang anak harus terus diasah pada tahap ini,
inisiatif merupakan kemauan untuk memulai aktivitas baru dan mengeksplorasi
arah baru. Bila anak-anak tidak dibiarkan melakukan berbagai hal sendiri,
perasaan bersalah mungkin berkembang; mereka mungkin akan percaya bahwa apa
yang ingin mereka lakukan selalu “salah”.
2.1.4
Tahap
Industry vs Inferiority, ketekunan
versus perasaan rendah diri(IV)
Antara umur lima tahun hingga tujuh
tahun, ketika kebanyakn anak mulai masuk sekolah, perkembangan kognitif
berjalan dengan cepat. Anak-anak memproses lebih banyak informasi dengan lebih
cepat dan rentang ingatan mereka bertambah. Mereka pindah dari cara berpikir
pra-operasional ke operasional-konkret. Mereka harus belajar memercayai orang
dewasa baru, bertindak secara otonom (mandiri) dalam situasi yang lebih
kompleks, dan menginisisai (memprakarsai) tindakan dengan cara yang sesuai
dengan aturan sekolah.
Tantangan psikososial baru untuk
tahun-tahun sekolah inilah yang disebut Erikson sebagai ketekunan versus
perasaan rendah diri. Anak mulai melihat hubungan antara ketekunan dan perasaan
senang bila sebuah sebuah pekerjaan selesai. Kesulitan dalam menghadapi tantangan
ini dapat menghasilkan perasaan rendah diri. Anak-anak harus menguasai berbagai
keterampilan baru dan berusaha mencapai tujuan baru, dan pada saat yang sama
mereka diperbandingkan dengan orang lain yang berisiko mengalami kegagalan.
2.1.5
Tahap
Identify vs. confusion, identitas dan
kebingungan(V)
Ketika anak memasuki usia remaja,
proses-prose kognitif meluas ketika mereka mengembangkan kapabilitas untuk
berfikir abstrak dan kapasitas untuk memahami perspektif orang lain. Remaja
muda harus menghadapi isu sentral, yaitu mngkonstruksikan identitas yang akan
memberikan dasar kuat saat dewasa.
Akan tetapi, masa remaja menandai saat
pertama uapay sadar dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang sekarang
menekannya; “Who am I” (aku ini
siapa?), konflik mennetukan tahap ini adalah identitas dan kebingungan.
Identitas mengacu pada pengoragnisasian berbagai dorongan, kemampuan, keyakinan
dan riwayat individu menjadi sebuah gambaran diri yang konsisten. Bila remaja
gagal mengintegrasikan semua hal, atau bila mereka merasa tidak mampu memilih
sama sekali, maka kebingungan mengancam mereka.
Menurut James Marcia (1991, 1994,
1999) ada empat alternatif identitas untuk remaja, tergantug apakah mereka
sudah mengeksplorasi berbagai opsi dan telah membuat komitmen.
Pertama,
difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak mengeksplorasi opsi apapun atau
tidak berkomitmen terhadap tindakan apapun. Remaja-remaja ini sering
ikut-ikutan, sehingga merekalebih berkemungkinan untuk menyalhgunakan obat-obatan
(Archer & Waterman, 1990; Berger & Thompson, 1995; Kroger, 2000).
Kedua,
penutupan identitas, adalah komitmen tanpa eksplorasi. Remaja-remaja yang
identitasnya tertutup cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif
(Frank, Pirsch, & Wright, 1990).
Ketiga,
moratorium atau krisi identitas, menunda pilihan karena pertentangan. Menurut
Erikson, penundaan ini sangat lazim dan barangkali sehat, bagi remaja modern.
Remaja yang berada dalam masyarakat yang kompleks mengalami krisi identitas.
Keempat,
pencapaian identitas, berarti bahwa setelah mengeksplorasi opsi-opsi yang
realistis, individu memilih dan berkomitmen untuk mencapainya.
2.1.6
Tahap
Intimacy vs Isolation, intimasi versus isolasi(VI)
Intimasi
dalam pengertian ini mengacu pada kemauan untuk berhubungan dengan orang lain
secara mendalam, untuk menjalin hubungan berdasarkan perasaan lebih dari
sekadar saling membutuhkan. Bila ia belum mencapai perasaan identitas yang
cukup kuat, ia akan “tertelan” dari orang lain dan memilih mengasingkan diri
(isolasi).
2.1.7
Tahap
Generativity vs stagnation,(VII)
Generativitas memperluas kemampuan
untuk peduli pada orang lain dan melibatkan kepdulain untuk membimbing generasi
berikutnya.
2.1.8
Tahap Integritas versus putus asa (VIII)
Tahap inilah yang dibawa sampai mati.
Mencapai integritas berarti mengonsolidasikan snese of self dan menerima
sepenuh keunikannya dan sejarahnya tidak dapat diubah. Mereka yang tidak mampu
mencapai perasaan integritas dan kepuasan akan tenggelam dalam keputusasaan.
No comments:
Post a Comment