Karya:
Okta Prisma Dyanti (XI-IPA2/34)
Saat itu hari Minggu pagi. Hari yang biasa
ditunggu oleh semua keluarga untuk acara berkumpul bersama. Seperti umumnya,
kupersiapkan segala jajanan untuk meramaika suasana. Tapi entah kenapa tak ada
satupun kelurga ada yang datang. Mungkin karena lupa, atau aku salah menentukan
harinya. Sudah lama rasanya aku duduk di teras ini dengan harap keluargaku
segera datang. Tapi rupanya justru hujan yang datang begitu derasnya.
Pandanganku mengarah ke bulir-bulir air hujan yang jatuh menimpa dedaunan.
Entah karena apa, mataku susah berkedip dan menerawang jauh diantara butiran
air hujan sampai pada kenangan masaa lalu. Kenangan ang begitu indah diantara
kita bersua saat kau berikan senyuman dan pandangan begitu tajam waktu itu.
Waktu itu aku malu, merunduk dan tidak berkata
apa-apa. Yang amat indah lagi, saat kau marah. Kau keluarkan kata-kata yang
begitu kasar dan sangat menyakitkan. Aku tak pernah menjawab sekalipun
kata-kata itu sangat menyakiti perasaan dan pikiranku. Aku tidak pernah marah,
mungkin aku terlalu bodoh atau tidak bisa menafsirkan arti sebenarnya. Aku
hanya bertanya pada Tuhan, “Ya Tuhan, apakah ini nasibku?”
Rintik hujan adalah saksi kunci perpisahan
kita. Di tengah kesunyian jalan tangan itu, tangan putihmu melayang tepat di
pipiku., kau tak memperdulikan air mata yang mengalir. Kau pergi meninggalkanku
hanya karena tak sengaja handphonemu kujatuhkan. Hujan menemani kesedihanku.
Mulut ini bisu, tak sanggup memanggilnya. Tangan ini begitu lemah hingga tak
sanggup mencegah langkah kakinya. Hanya mata ini yang terus mengeluarkan air
mata hingga banyangannya lenyap ditelan hujan. Sakitnya tamparanmu tak terasa
bagiku karena aku terlalu mencintaimu.
Hari demi hari terasa sunyi sejak peristiwa
itu. Kekejamanmu yang selalu kuingat sebagai kenangan yang paling indah di
hidupku. Bunyi petir menyadarkan lamunanku seakan membuka jalan terang. Segera
aku menuju dalam rumah dan kututup pintu karena hari ini ternyata keluargaku
sedang di luar kota.
No comments:
Post a Comment